Karena itu, dalam melakukan penelitian, diperlukan beberapa tahapan yang masing-masing tak sebentar. Apalagi, sambung dia, persamaan ini memang sangat sulit. Ada dua cara untuk menguraikan matematika numerik yaitu secara langsung (direct) dan literasi. ''Banyak pakar yang menghindari penelitian untuk memecahkan rumus Helmholtz karena memang sulit,'' kata pria kelahiranTasikmalaya 32 tahun silam ini.
Pakar terakhir yang memecahkan teori Helmholtz adalah Mike Giles dan Prof Turkel, berasal dari Swiss dan Israel, masing-masing dengan caranya sendiri. Teori dari kedua pakar itulah yang kemudian dianalisisnya beberapa waktu sehingga kemudian bisa dioptimalkan dan dijadikan metode yang cukup cepat.
''Saya punya persamaan matematika dalam bentuk diferensial. Yang saya lakukan untuk memecahkan rumus Helmholtz itu adalah mengubah persamaan inimenjadi persamaan linear aljabar biasa. Begitu saya dapatkan, saya pecahkan dengan metode direct atau literasi,'' ujarnya.
Metode langsung, papar Yogi, bila dalam perjalanannya kemudian menemukan masalah yang besar maka akan mahal dari segi waktu dan biaya. Namun metode literasi pun belum tentu bisa memperoleh solusi atau kadang-kadang diperoleh dengan waktu yang cukup lama. Hanya, kata dia, yang pasti, dengan metode literasi selalu murah dari segi hardware.
''Persamaan Helmholtz ini bisa diselesaikan dengan literasi tapi kalau dinaikkan frekuensinya, jadi sulit untuk dipecahkan,'' ujarnya. Yogimemaparkan, untuk mengetahui struktur daerah cekung, misalnya, yang dilakukan adalah meneliti daerah akustik dan kemudian dipantulkan gelombangnya dengan frekuensi tertentu. Pantulan tersebut kemudian direkam. Setelah itu, frekuensi akan dinaikkan misalnya, dari 10 Hz, lalu naik lagi10,2 Hz, 10,4 Hz, dan seterusnya.
Yang kemudian menjadi persoalan, ungkap dia, ketika frekuensi dinaikkan, persamaan Helmholtz akan semakin sulit untuk diselesaikan. Ia memberikan contoh, Shell hanya bisa menyelesaikan persamaan Helmholtz sampai dengan frekuensi 20 Hz. ''Ketika dinaikkan menjadi 30 Hz, mereka tak bisa,' 'katanya.
Kemudian, Yogi memperoleh metode robust yang memungkinkan persamaan Helmholtz untuk dipecahkan dengan frekuensi berapa pun. ''Kita sudah melakukan tes 300 Hz tidak masalah. Meskipun, sebenarnya 70 Hz pun sudah cukup untuk pemetaan,'' ujar penggemar matematika ini.
Tak cuma untuk temukan sumber minyak, Menurut Yogi, selain untuk menemukan sumber-sumber minyak, keberhasilan persamaan Helmholtz ini juga bisa diaplikasikan dalam industri lainnya yang berhubungan dengan gelombang. Persamaan ini digunakan untuk mendeskripsikan perilaku gelombang secara umum. Industri yang bisa mengaplikasikan rumus ini antara lain industri radar, penerbangan, kapal selam, penyimpanan data dalam blue raydisc (keping DVD super yang bisa memuat puluhan gigabyte data), dan aplikasi pada laser.
Mengenai kelanjutan dari penemuannya itu, Yogi mengatakan, karena penelitian ini dilakukan oleh perguruan tinggi, maka persamaan Helmholtz ini menjadi milik publik. ''Biarpun dibiayai oleh Shell, tapi yang melakukannya universitas, sehingga rumus ini menjadi milik publik,'' katanya.
Ia tidak mematenkan rumus temuannya itu. Apalagi, sambung dia, produknya itu berasal dari otak sehingga tidak perlu untuk dipatenkan. ''PT Pertamina pun sebenarnya bisa menggunakan rumus ini untuk mencari minyak bumi. Saya sempat diundang oleh Pertamina beberapa waktu lalu, tapi karena ada keperluan, tidak hadir. Memang ada yang mengatakan kalau PT Pertamina tertarik dengan temuan saya, cuma masalahnya Pertamina memiliki software-nya atau tidak,''ujar pria yang tak suka publikasi ini.
Menurut Yogi, persamaan Helmholtz ini dalam proses penelitiannya sudah dipresentasikan di banyak negara di dunia. Yaitu, saat intermediate progress selama Desember 2001 hingga Desember 2005. Buku mengenai persamaan Helmholtz yang dibuatnya saat masih di Belanda pun, laris manis.
''Tinggal satu (buku) dan saya tak punya fotokopinya lagi,'' ujar dosen yang kini sibuk dengan beberapa penelitian bersama Prof Turkel. Mengutip Turkel,Yogi mengatakan bahwa persamaan yang ditemukannya itu masih bisa dikembangkan lagi. Namun kini, Yogi akan berkonsentrasi pada post graduate research di Berlin, Jerman, yang akan memakan waktu selama dua tahun sejak1 Mei 2006.
*Terobsesi Memajukan Indonesia *
Setelah menjadi terkenal di dunia matematika karena berhasil memecahkanrumus Helmholtz yang dikenal sangat sulit, dosen Teknik Penerbangan ITB,Yogi Ahmad Erlangga, masih memiliki obsesi yang belum tercapai. Menurut anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Mohamad Isis dan Euis Aryati ini, obsesi yang belum tercapai adalah ingin melihat bangsa Indonesia maju.
Karena, kata dia, saat ini Indonesia jauh tertinggal dibandingkan denganIndia. Padahal, Indonesia dan India sama-sama sebagai negara berkembang dan banyak masyarakatnya yang miskin. ''Meskipun miskin, tapi India sekarang bisa menjadi pusat informasi teknologi (IT) di dunia. Saya ingin Indonesia seperti India, kemiskinan bukan berarti tidak bisa berkembang,'' ujar Yogi kepada Republika. Khusus untuk ITB, sambung pria kalem kelahiran Tasikmalaya 8 Oktober 1974, obsesinya adalah ingin ITB bisa lebih besar lagi.
Minimal, ITB menjadi perguruan tinggi terbesar di Asia. Karena, kalau hanya terbesar di Indonesia saja, sejak dulu juga begitu. Bahkan, sambung dia, pernyataan itu justru menjadi tanda tanya besar. ''Saya pun masih memiliki obsesi pribadi. Keinginan saya adalah ingin melakukan penelitian tentang pesawat terbang, perminyakan, dan biomekanik,'' kata pemenang penghargaanVNO-NCW Scholarship dari Dutch Chamber of Commerce itu.