Lagi-lagi masalah Bahan Bakar Minyak alias BBM?
Rencana pemerintah yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak rata-rata sekitar 30%, tentu saja akan menjadi kebijakan yang sangat meresahkan bagi masyarakat kita. Ketika ekonomi bangsa yang cenderung tidak stabil, dan disaat masyarakat sedang berusaha membangun pondasi ekonominya, tiba-tiba pemerintah merencanakan akan menaikkan harga BBM pada awal bulan Juni ini. Ada apa ini? Apakah tidak ada solusi alternative yang lebih objektif selain menaikkan harga BBM yang ujung-ujungnya menambah beban masyarakat?
Kita tidak perlu mengungkapkan lebih jauh akibat dari kenaikan BBM. Yang pasti angka realisitis sekarang ini jumlah pengangguran di kita telah mencapai 10,55 juta orang (BPS: Feb 2006) dan saya yakin angka tersebut akan terus bertambah. Penambahan tersebut bisa saja terjadi akibat dari gejala sosial dan alam seperti gempa bumi dan bencana alam lainnya yang memiliki potensi menciptakan pengangguran atau akibat kebijakan kebijakan pemerintah yang salah kaprah. Dalam kasus Lapindo saja, lebih dari 20.000 jiwa telah berubah status menjadi pengangguran. Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang morat-marit akibat ketidak-pastian kebijakan ekonomi pemerintah. Untuk kalangan industri, bila ongkos biaya produksi tidak tertutupi, pilihannya cuma ada tiga, mengurangi jumlah produksi, mempertahankan jumlah produksi dengan mengurangi tenaga kerjanya atau mengurangi jumlah produksi sekaligus mengurangi jumlah tenaga kerja. Nah, kalau pilihan kedua dan ketiga yang dipakai, akan berapa banyak lagi pengangguran yang akan tercipta? Dan gejala sosial apa yang akan terjadi bila jumlah pengangguran terus bertambah?
Bila Drajat Wibowo (pakar ekonomi) mengatakan bahwa solusi pengurangan angka pengangguran hanya dengan kebijakan pemerintah dengan membuat padat karya (job intensive), maka saya hanya bisa mengatakan bahwa solusi itu hanya bisa berjalan bila iklim ekonomi yang trend-nya cenderung naik (positif). Lalu bagaimana bisa berjalan proses padat karya (job intensive) itu bila biaya invesatasi di kita sangat mahal? Apakah dengan merevisi regulasi-regulasi tentang investasi? Bisa saja hal itu dilakukan, tapi akan banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara untuk merivisi regulasi-regulasi tersebut? Ok lah, mungkin Pak Drajat Wibowo memiliki perhitungan ekonomi makro yang lebih cermat dengan indikator-indikator ekonomi yang lebih objektif karena memang dia itu pakarnya.
Dan dengan masalah BBM ini, sekali lagi saya kesal dan gemas dengan rencana kebijakan pemerintah itu!
Dalih-dalih usaha menutupi kebocoran APBN akibat harga BBM dunia yang menembus level US$ 122 per barel bahkan diduga bisa menembus level US$150-200 per barel, bagi saya yang orang awam sangat-sangat tidak rasional. Ok lah … kalau akibat kenaikan harga BBM dunia tersebut, APBN harus menanggung sekitar US$ 30 lebih untuk menutupi kebocoran APBN dan dengan menaikkan harga BBM akan mendorong penghematan APBN. Tapi alangkah baiknya dan bijaksananya bila pemerintah (yang terdiri dari orang-orang pintar itu) memperhatikan kalangan masyarakat miskin sebelum menaikkan harga BBM.
Subsidi ??? Sebuah pendidikan bangsa yang tidak baik. Kita terlalu terlena dengan bahasa subsidi. Subsidi yang dicanangkan pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak pernah didistribusikan kepada masyarakat miskin secara adil dan proses bantuan subsidi tersebut akan menciptakan “generasi pemalas” bangsa. Atau yang namanya subsidi tidak pernah bisa menyentuh langsung kepada masyarakat miskin. Bisa dikatakan bahwa pemerintah sekarang ini sangat “adil”, kalau masyarakat miskin disubsidi, maka orang-orang kaya pun harus kebagian subsidi. Sungguh lucu negeri ini…..