Sejak bisa merangkak, Karim, sudah mulai bermain di medan perang dengan melempari tentara-tentara Zionis dengan batu. Setiap kali tentara zionis melewati rumahnya, sambutan batu dilakukan Karim untuk mereka. Sambil berlari dan terus bersembunyi. Walau di hati kecilnya tersimpan rasa sedikit takut ditembak peluru karet atau peluru “betulan”, tapi “permainan” ini baginya adalah permainan yang “menarik” dan “murah” yang bisa dilakukan oleh anak-anak Palestina. Mungkin kita yang hidup di kota, permainan perang-perangan adalah mengundang keceriaan sesama. Mungkin pula ini yang dialami Karim, ketika batu lemparannya mengenai sasaran.
Sekarang Karim bukan lagi anak kecil dan permainan perang dengan batu sebagai amunisi, secara perlahan ditinggalkannya. Kini Karim telah remaja, permainan perangnya sudah tidak lagi menggunakan amunisi batu. Kini dia sudah mulai memegang pistol dan senapan. Sesekali dia meracik bom dan diledakkan pada pos-pos penjagaan tentara Yahudi. Cerita tentang kematian teman-temannya, saudaranya atau siapapun yang bermain perang melawan kaum Zionis tak menyulutkan hatinya untuk terus melanjutkan permainannya. Entah apa yang menyebabkan Karim begitu “menikmati” permainan perangnya itu?
Sebuah serangan dari pihak musuh tiba-tiba datang menyerang sebuah kamp pemukiman Serangan sporadis meluluhlantahkan bangunan-bangunan di kamp itu. Tank-tank musuh terus mengarahkan “moncong”nya menembaki apa saja yang terlihat. Satu per satu saudara dan teman-teman Karim tersungkur di tanah. Darah mulai membanjiri kamp pemukiman tersebut. Puing-puing bangunan runtuh berserakan. Korban jiwa tak terhitung jumlahnya.
Tak lama setelah peristiwa tragis itu, sebuah pos penjagaan Yahudi di bom oleh pejuang Palestina. Dan Karim, telah meledakkan tubuhnya di pos penjagaan itu.
Usai sudah permainan perang Karim.
---------OOO--------
Lama tak terdengar kabar dari Karim, Sang Ibu saban waktu terus berdo’a agar Karim diberi umur panjang. Hati kecil Sang Ibu tak tega melihat anaknya yang masih remaja bergumul dengan bahaya. Tapi apa daya, sejak suami dan anak-anaknya pergi meninggalkan dunia ini sebagai orang fisabilillah, Sang Ibu, tak bisa menahan Karim, putra satu-satunya yang masih ada, mengasah mesin hatinya dan keimanannya untuk menjadi martir terdepan melawan musuh-musuh Alloh. Sang Ibu paham betul tentang keinginan Karim. Dan saat itu pula Sang Ibu melepas buah hati satu-satunya untuk menyumbangkan satu-satunya nyawa yang dia punya.
Berita penyerangan kamp pemukinan dan penghancuran pos penjagaan Israel sampai ke telinga Sang Ibu. Bergegaslah Sang Ibu berlari dan mencari anaknya itu. Dan apa yang didapati adalah sama dengan suaminya terdahulu. Sebuah jasad tanpa nyawa. Hati Sang Ibu ternyata sangat tegar. Jauh hari sebelum kejadian ini, Sang Ibu sudah memasrahkan nyawa anaknya dan menitipkan setiap nafas dan langkah anaknya kepada Alloh. Kematian, di Palestina, bukanlah “acara” tangisan. Tapi kematian di Palestina adalah kebangkitan kaum muslim untuk terus merapatkan barisan menghancurkan musuh-musuh Alloh dan mengusirnya dari bumi Palestina. “Selama jasad kita belum dikubur, tidak ada satu kematian pun terjadi. Dan selama Islam masih ada, selama itu pula orang-orang kafir tidak akan rela kepada kami”, itulah pikiran Sang Ibu ketika melihat anaknya Karim, mati sebagai seorang syuhada.
Sang Ibu tidak menangis. Bibirnya digigit. Air beningnya mengalir dari kelopak matanya. Tak ada siapa-siapa lagi. Suami, anaknya dan saudara-saudaranya telah pergi mendahului dia. Kesendirian adalah teman hidupnya. Kesunyian adalah tariannya. Dan keheningan adalah nyanyiannya. Berbagai terpaan menimpa diri Sang Ibu. Namun hal itu justru membangkitkan mesin hatinya dan keimanannya untuk berdiri dan bergabung sebagai martir terdepan melawan musuh-musuh Alloh dan bergabung dalam gerakan intifadah.
Syair-syair perang dari ayat-ayat suci Illah, membangkitkan hati dan jiwanya. Sang Ibu telah berubah menjadi macan betina di medan perang. Bom demi bom diledakkan. Sang Ibu ditakuti lawan dan sangat disegani. Uraian kata-kata jihad terus dikobarkan. Bendera suci Allohu Akbar terus dikibarkan. Islam adalah tujuan hidup. Dalam satu pertempuran jihadnya, Sang Ibu akhirnya akhrinya gugur. Jihad fi sabilillah.
Salahiyah, dialah nama Sang Ibu.
Diilhami dari kisah Salahiyah
Pejuang wanita muslim Palestina
by my self, private collection
Bakauheni, 2009
Thursday, December 3, 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)