Thursday, December 3, 2009

Salahiyah

Sejak bisa merangkak, Karim, sudah mulai bermain di medan perang dengan melempari tentara-tentara Zionis dengan batu. Setiap kali tentara zionis melewati rumahnya, sambutan batu dilakukan Karim untuk mereka. Sambil berlari dan terus bersembunyi. Walau di hati kecilnya tersimpan rasa sedikit takut ditembak peluru karet atau peluru “betulan”, tapi “permainan” ini baginya adalah permainan yang “menarik” dan “murah” yang bisa dilakukan oleh anak-anak Palestina. Mungkin kita yang hidup di kota, permainan perang-perangan adalah mengundang keceriaan sesama. Mungkin pula ini yang dialami Karim, ketika batu lemparannya mengenai sasaran.

Sekarang Karim bukan lagi anak kecil dan permainan perang dengan batu sebagai amunisi, secara perlahan ditinggalkannya. Kini Karim telah remaja, permainan perangnya sudah tidak lagi menggunakan amunisi batu. Kini dia sudah mulai memegang pistol dan senapan. Sesekali dia meracik bom dan diledakkan pada pos-pos penjagaan tentara Yahudi. Cerita tentang kematian teman-temannya, saudaranya atau siapapun yang bermain perang melawan kaum Zionis tak menyulutkan hatinya untuk terus melanjutkan permainannya. Entah apa yang menyebabkan Karim begitu “menikmati” permainan perangnya itu?

Sebuah serangan dari pihak musuh tiba-tiba datang menyerang sebuah kamp pemukiman Serangan sporadis meluluhlantahkan bangunan-bangunan di kamp itu. Tank-tank musuh terus mengarahkan “moncong”nya menembaki apa saja yang terlihat. Satu per satu saudara dan teman-teman Karim tersungkur di tanah. Darah mulai membanjiri kamp pemukiman tersebut. Puing-puing bangunan runtuh berserakan. Korban jiwa tak terhitung jumlahnya.

Tak lama setelah peristiwa tragis itu, sebuah pos penjagaan Yahudi di bom oleh pejuang Palestina. Dan Karim, telah meledakkan tubuhnya di pos penjagaan itu.
Usai sudah permainan perang Karim.

---------OOO--------

Lama tak terdengar kabar dari Karim, Sang Ibu saban waktu terus berdo’a agar Karim diberi umur panjang. Hati kecil Sang Ibu tak tega melihat anaknya yang masih remaja bergumul dengan bahaya. Tapi apa daya, sejak suami dan anak-anaknya pergi meninggalkan dunia ini sebagai orang fisabilillah, Sang Ibu, tak bisa menahan Karim, putra satu-satunya yang masih ada, mengasah mesin hatinya dan keimanannya untuk menjadi martir terdepan melawan musuh-musuh Alloh. Sang Ibu paham betul tentang keinginan Karim. Dan saat itu pula Sang Ibu melepas buah hati satu-satunya untuk menyumbangkan satu-satunya nyawa yang dia punya.

Berita penyerangan kamp pemukinan dan penghancuran pos penjagaan Israel sampai ke telinga Sang Ibu. Bergegaslah Sang Ibu berlari dan mencari anaknya itu. Dan apa yang didapati adalah sama dengan suaminya terdahulu. Sebuah jasad tanpa nyawa. Hati Sang Ibu ternyata sangat tegar. Jauh hari sebelum kejadian ini, Sang Ibu sudah memasrahkan nyawa anaknya dan menitipkan setiap nafas dan langkah anaknya kepada Alloh. Kematian, di Palestina, bukanlah “acara” tangisan. Tapi kematian di Palestina adalah kebangkitan kaum muslim untuk terus merapatkan barisan menghancurkan musuh-musuh Alloh dan mengusirnya dari bumi Palestina. “Selama jasad kita belum dikubur, tidak ada satu kematian pun terjadi. Dan selama Islam masih ada, selama itu pula orang-orang kafir tidak akan rela kepada kami”, itulah pikiran Sang Ibu ketika melihat anaknya Karim, mati sebagai seorang syuhada.

Sang Ibu tidak menangis. Bibirnya digigit. Air beningnya mengalir dari kelopak matanya. Tak ada siapa-siapa lagi. Suami, anaknya dan saudara-saudaranya telah pergi mendahului dia. Kesendirian adalah teman hidupnya. Kesunyian adalah tariannya. Dan keheningan adalah nyanyiannya. Berbagai terpaan menimpa diri Sang Ibu. Namun hal itu justru membangkitkan mesin hatinya dan keimanannya untuk berdiri dan bergabung sebagai martir terdepan melawan musuh-musuh Alloh dan bergabung dalam gerakan intifadah.

Syair-syair perang dari ayat-ayat suci Illah, membangkitkan hati dan jiwanya. Sang Ibu telah berubah menjadi macan betina di medan perang. Bom demi bom diledakkan. Sang Ibu ditakuti lawan dan sangat disegani. Uraian kata-kata jihad terus dikobarkan. Bendera suci Allohu Akbar terus dikibarkan. Islam adalah tujuan hidup. Dalam satu pertempuran jihadnya, Sang Ibu akhirnya akhrinya gugur. Jihad fi sabilillah.
Salahiyah, dialah nama Sang Ibu.

Diilhami dari kisah Salahiyah
Pejuang wanita muslim Palestina
by my self, private collection
Bakauheni, 2009

Suara Misteri

“Hei … apa yang sedang kamu pikirkan?”.

Aku terkejut mendengar seseorang menegurku, ku gelengkan kepala kiri-kanan sambil mencari siapa tahu ada orang yang kukenal diatas kapal ini. Belum sempat ku temukan pemilik suara itu, tiba-tiba terdengar suara yang agak pelan dan tertuju pada diriku. “Sadarlah, kamu tidak akan sanggup membalikkan keadaaan ini menjadi lebih baik. Apakah kamu akan merusak keseimbangan alam yang sudah tertata ini? Berpikir realistis lebih baik daripada meratapi pemikiran irasional dan subyektif! Ingat kamu hidup diatas kesadaran, bukan di bawah alam sadar. Tak perlulah kamu mengotak-atik keadaan sehingga angin akan memutarkan haluannya menuju dan mengikuti pikiran insan kamu. Itu tidak mungkin! Sesuatu sudah terjadi, dan sudah pantasnya kamu untuk menyesali itu semua! Semua sudah terlambat kawan …. “

“Siapa dia … kenapa dia tiba-tiba mencoba memberikan petuah-petuah kuno macam itu?” pikirku dalam hati.

Suara itu kembali terdengar dan kali ini suara itu seakan-akan terdengar semakin kencang dan dekat dengan telinga dan hati ku. “… Kawan, lihatlah keatas! Apakah kamu akan mengganggap bahwa gemerlapnya bintang-bintang itu adalah sebuah kemunafikan? Atau kamu akan menganggap bintang-bintang itu hanyalah sebagai simbol kebohongan penguasa alam raya ini?”

“Bintang-bintang adalah sebuah kenyataan. Jumlah mereka sangatlah banyak. Dan mereka tunduk pada satu aturan yang sangat universal di alam jagad raya ini. Mereka memiliki cahaya-cahaya yang akan membawa kita terhindar dari kegelapan malam. Lalu apakah kamu akan tetap menganggap bahwa itu hanyalah sebuah simbol kemunafikan dan kebohongan? Dan pada satu masa, bintang-bintang itu akan redup cahayanya dan menghilang dari pandangan kita. Tak ada cahaya yang menerangi kita di malam hari. Mata kita akan buta. Gelap gulita…. Dan ketika itu manusia tetap belum sadar akan keberadaan dirinya di alam raya ini? Mereka masih mempertahankan egoisme dan kesombongan insani”.
“Tolong hentikan petuah-petuah itu…. Dan jelaskan siapa kamu dan kenapa kamu begitu sombong dengan petuah-petuah itu ?” Tanya ku kepada suara bisikan itu.

“Hari ini saya menangisi seorang laki-laki yang tidak berdaya ditelan gelombang nurani pikiran kalap. Hati dan pikirannya kaku dan beku! Seluruh sendi badannya mengeluarkan keringat kesedihan dan kehampaan. Kakinya seakan berat untuk menelusuri jejak-jejak kebahagian. Cahaya matanya redup ditelan kegelisahan.

Private Collection
Bakauheni, 2009

Monday, November 23, 2009

Jihad dan Kesabaran


‘Umar r.a. bertanya kepada para syaikh dari kalangan Bani ‘Abbas. “Dengan apa kalian memerangi manusia?” Mereka menjawab: “Dengan kesabaran. Tidaklah kami menjumpai suatu kaum (musuh, pen.) melainkan kami bersabar menghadapi mereka sebagaimana mereka bersabar menghadapi kami.”

Sebagian salaf berkata:

“Masing-masing dari kami tidaklah menyukai kematian dan sakitnya luka-luka, akan tetapi kami diberi kelebihan dengan kesabaran.”

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan: “Ini dalam jihad memerangi musuh yang dhahir (lahir) yakni jihad melawan orang-orang kafir. Sepertinya itu pula dalam jihad memerangi musuh yang batin yakni jihad melawan (kejahatan) jiwa dan hawa nafsu. Maka sungguh berjihad pada keduanya (dhahir dan batin) merupakan seagung-agungnya jihad. Sebagaimana sabda Nabi SAW:

“Seorang mujahid adalah orang yang memerangin jiwanya karena Allah. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal 516)

AL-Imam Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan (Tuhfatul Ahwadzi hal. 206): “Yakni memaksa jiwanya yang suka memerintahkan kepada kejelekan untuk tunduk kepada apa yang mengandung keridhaan Allah SWT, dalam bentuk melaksanakan amalan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan. Jihad terhadap jiwa tersebut juga merupakan fondasi dari segala macam jihad. Karena sesungguhnya selama seorang belum berjihad untuk menundukkan jiwanya sendiri, tidaklah mungkin baginya untuk dapat berjihad memerangi musuh yang di luar jiwanya (musuh yang dhahir).”

(dikutip dari Majalah Asy Syari’ah No 52/V/1430H/2009, Permata Salaf “Jihad dan Kesabaran”)

Monday, February 16, 2009

Pemimpin bagi Perempuan

Alkisah Zaenab mendapat predikat perempuan paling cantik di seantero kampung ini. Tubuhnya yang tinggi semampai. Kulitnya yang putih bersih. Matanya yang memancarkan sinar katulistiwa. Kecantikannya menyerupai taman ‘Arsy sebagai tanda keagungan Alloh Yang Maha Kuasa yang selalu dijaga oleh empat malaikat.

Kesohoran Zaenab di kampung itu tentulah mengundang setiap lelaki untuk meminang dia. Tak ada seorang lelaki pun yang tidak jatuh cinta kepadanya. Mendapatkan hati Zaenab tentulah sangat membanggakan bagi setiap lelaki di kampung itu. Karena banyaknya lelaki yang datang kepadanya, maka dibuatlah satu kompetisi kecil dimana pemenangnya akan menjadi suaminya kelak. Dari sekian ratus kontestan yang ikut kompetisi itu, maka tinggallah menjadi dua besar dimana masing-masing akan memperoleh kesempatan selama satu jam untuk bisa berduaan dengan Zaenab sebelum akhirnya Zaenab memilih satu diantara dua pemuda itu.

Tibalah saatnya pemuda satu masuk kedalam ruangan yang disediakan oleh Zaenab, khusus untuk season satu jam bersama Zaenab. Pemuda itu sangat gagah dan tampan serta dari raut wajah dan penampilannya terlihat dia bukanlah pemuda dari golongan miskin.

“Selamat siang!”
“Selamat siang. Silahkan duduk di tempat yang telah ku sediakan!”

Tak lama kemudian pemuda satu duduk di kursi empuk yang terbuat dari kulit.

“Siapa namamu, wahai pemuda tampan?”
“Saya Farid bin Malik bin Hidayat. Pemilik usaha Malik Group. Aku memiliki karyawan ribuan orang yang tersebar di penjuru negeri ini”.

Kemudian keluarkan satu pertanyaan dari Zaenab tentang pendapat Farid akan dirinya dan cinta.

“Apa pendapatmu tentang saya dan cinta?”

Sang pemuda itu pun kemudian mengeluarkan kata-kata romantisnya

“Anda adalah wanita yang sangat cantik. Karena kecantikan anda, anda telah mengalahkan Cleopatra dari Mesir atau Lady Di dari Inggris sana. Anda adalah wanita yang sangat diidamkan oleh setiap lelaki. Termasuk aku".

Kemudian Farid mulai menjawab pertanyaan tentang cinta.

“Cinta ibarat denting dawai gitar yang dipetik dengan sentuhan jari kelembutan. Dan cinta ku kepada mu adalah cinta abadi yang akan selalu ku jaga hingga maut menjemputku”.
“Maukah engkau menjadikan aku istrimu?”
“Tentu saja”.

Tak lama kemudian, setelah Farid keluar dari ruangan tempat Zaenab berada di dalamnya, masuklah pemuda dua kedalam ruangan itu. Penampilannya biasa. Tak ada kesan kemewahan dalam dirinya. Rambutnya agak kusut. Kulitnya agak hitam akibat terlalu seringnya terbakar oleh sinar matahari.

“Assalamu’alaikum”
Wa’alaikum salam. Silahkan duduk di tempat yang telah ku sediakan!”

Tak lama kemudian pemuda dua itu duduk di kursi empuk yang terbuat dari kulit dan menerima pertanyaan yang sama seperti yang diterima oleh Farid.

“Saya Yusuf bin Hamzah. Anak kedua dari keturunan Hamzah.”
“Apa pendapatmu tentang saya dan cinta?”

Yusuf pun terdiam sejenak. Menghelakan nafasnya dan kemudian bersiap menjawab pertanyaan itu.

“Pendapatku tentang anda dan cinta adalah kasihan dan tidak ada?”
“Apa maksudmu kasihan dan tidak ada”
“Kasihan ya kasihan dan tidak ada ya tidak ada!”
“Apa yang membuat engkau harus mengasihi aku dan mengapa engkau menganggapku tidak ada?”
“Anda adalah wanita yang sangat cantik. Dan semua orang di negeri ini telah sepakat bahwa anda memang cantik. Tapi karena kecantikanmu itu, semua lelaki di negeri ini telah buta akan kecantikan perempuan yang sebenarnya hanya bersifat semu. Dan aku adalah termasuk lelaki itu. Lima menit yang lalu. Tapi kini mataku telah mendapatkan cahaya bahwa engkau sesungguhnya adalah perempuan yang patut aku kasihani dan aku anggap engkau tidak ada”.
“Mengapa demikian?”
“Sesungguhnya wanita yang telah menjaga kecantikannya hanya untuk suaminya adalah wanita yang cantik sesungguhnya. Dan wanita yang tidak tinggal berdua dengan lelaki yang belum menjadi suaminya adalah sebaik-baiknya wanita. Sedangkan anda dengan bangga mengadakan permainan ini untuk mengagungkan kecantikan anda dan memberikan kabar yang lebih luas lagi bahwa kecantikan anda telah menaklukan ratusan hati para lelaki”.
“Lalu!”
“Oleh karena itu aku sangat kasihan padamu, wahai Zaenab. Aku kasihan karena engkau telah diperdagangkan oleh ratusan lelaki yang menginginkanmu yang sebenarnya anda bisa memilih langsung satu diantara sekian lelaki yang ada di kampung ini tanpa harus melalui permainan ini. Dan aku kasihan kepadamu, karena dengan kecantikan yang engkau miliki, engkau telah membuat hati setiap laki-laki luluh runtuh tak berdaya. Walaupun engkau adalah harapan dari setiap laki-laki, tapi tidak bagiku, karena aku takut kehilangan wanita secantik mu dan aku tak mau hati ku menjadi lembek karena kecintaanku pada kecantikanmu yang menyebabkan aku akan menjadi pelayan mu. Karena itu cinta ku pada mu adalah tidak ada. Karena sebaik-baiknya suami adalah pemimpin bagi perempuan dan sebaik-baiknya istri adalah istri yang selalu senantiasa menjaga kehormatan suami dan keluarga.

(Catatan Pribadi - Bakauheni, Feb 2009)

Tuesday, February 10, 2009

Puisi untuk Hisom (In Memorial)

Teringat aku akan
sebuah kalimat dari
Hasan Al Bashri :
"Wahai Bani Adam!
Sesungguhnya engkau adalah
kumpulan hari-hari.
Ketika hari telah berlalu,
maka berlalu pulalah sebahagian dirimu".

Dalam kitabku pun tertulis
dalam surat Al-Ankabut 57
"Tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati.
Kemudian
hanyalah kepada Kami
kamu dikembalikan."

Hari ini,
kutuliskan satu sajak
sebuah sajak untuk sahabatku, Abdul Hisom
Disaat matahari sedang bersedih
dibalik awan biru,
enggan memancarkan sinarnya.
diatas langit tanah Dusun Bakau
yang telah dibasahi
oleh tetesan hujan kesedihan
malam hari.

Hari ini,
Selasa 10 Februari 2008
Ketika tangan kami tak sanggup lagi
mendekap mu,
Ketika raga kami sudah tidak lagi
bisa menjaga mu,
Ketika jiwa kami hanya bisa mengucapkan
kata-kata doa:
“Ya Alloh, Tuhan seluruh manusia.
hilangkanlah bahaya ini,
sembuhkanlah sahabatku.
Engkau yang dapat menyembuhkan.
Tidak ada obat selain obat Engkau
yaitu obat yang tidak meninggalkan sakit
dan penyakit”
Dan pada hari ini pula,
Engkau telah meninggalkan sakit
dan penyakit itu
dengan menitahkan pembantu-Mu,
Malaikat penjemput ajal untuk
menarik satu penyakit
dari jiwa sahabatku

Untuk sahabatku, Abdul Hisom
Hari ini ..
Engkau telah meninggalkan kami semua
sebagai manusia
Dan akan lahir kembali
di alam para malaikat
dengan menjelma menjadi
satu bentuk yang tak pernah kupahami

Untuk sahabatku, Abdul Hisom
Jiwa mu telah pergi
meninggalkan kami semua,
Tak ada yang abadi,
Yang ada hanyalah kenangan
kanangan akan dirimu
yang kan kuabadikan hingga
ragaku menyertaimu
di alam para malaikat nanti.

Selamat jalan sahabatku,
semoga Alloh menempatkanmu
pada kursi terdepan.
Satu barisan dengan umat-Mu terdahulu
yang selalu setia
menyebutkan nama-Mu
di setiap denyut nadi dan nafasnya.
Amien.

Monday, February 9, 2009

Friday, January 9, 2009

Palestina, Bagaimana Bisa Aku melupakanmu


Taufik Ismail

Ketika rumahmu diruntuhkan buldozer
Dengan suara-suara gemuruh menderu,
Serasa pasir dan batu bata di dinding kamar tidurku
Bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah
Dan mengepulkan debu yang berdarah
Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu
Dilipat-lipat sebesar sapu tangan
Lalu Tel Aviv dimasukkan
Dalam fail lemari kantor Agraria,
Serasa kebun kelapa dan kebun mengaku
Di kawasan katulistiwa yang dirampas mereka
Ketika kiblat pertama gerek dan kerecaki
Bagai kelakuan reptilia dibawah tanah
Dan sepatu-sepatu serdadu menginjak tumpuan kening kita semua,
Serasa runtuh lantai papan surau
Tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al Qur’an
40 tahun silam
di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya
bening kebiru-biruan
kini ditetesi air mataku

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu,
Ketika anak-anak kecil di Gaza
Belasan tahun bilangan umur mereka,
Menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma,
Lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya,
Siapakah yang tak menjerit
Serasa anak-anak kami Indonesia
jua yang didzalimi mereka

Tapi saksikan tulang muda mereka yang patah
Akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya,
Pembelit leher mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka

Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan Samir Al-Qassem,
Harun Hashim, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya
Yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta,
Jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar
Lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu,
Darah kami pun memancar ke atas
Lalu menuliskan guratan kaligrafi…
Allahu Akbar!”
Dan
Bebaskan Palestina!”

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu,
Ketika pabrik tak bernama
1000 ton sepakan memproduksi dusta
menebarkannya ke media cetak dan elektronika,
mengoyaki tenda-tenda pengungsi
ke padang pasir belantara,
membangkangi resolusi-resolusi majelis-majelis terhormat di dunia
membantai di Shabra dan Shatila,
mengintai Yaseer Arafat dan semua pejuang negeri Anda,

Aku pun berseru kepada khatib
Dan imam shalat Jum’at sedunia:
Doakan kolektif dengan kuat seluruh
Dan setiap pejuang yang menapak di jalan-Nya
Yang ditembaki dan kini dalam penjara
Lalu dengan kukuh kita bacalah
Laa quwwata illa bi-llah!”

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, jumlahnya beribu-ribu,
Tapi adzan masjid Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku

1989

[disadur dari Majalah Ash-Sholihah,
Yogyakarta, Desember 1993]