Saturday, March 26, 2005

Dalam Catatan Kaki - Inilah Aku (3)

Impian untuk memiliki presiden yang merepresentasikan kekuatan Islam Indonesia adalah satu cita-cita yang sangat saya dambakan. Islam dalam perkembangannya di Indonesia selalu termajinalkan oleh kekuatan sekuler nasionalis. Sejarah mencatat sejak Indonesia merdeka hingga kini, gerakan berbasis Islam tidak pernah diakomodir secara nyata. Mungkin ini yang menjadi alasan mengapa muncul gerakan perlawanan DI/TII oleh Kartosuwiryo, Kahar Muzakar dan Daud Beureuh di daerah nusantara pada dekade 10 tahun paska Indonesia merdeka. Dalam analogi saya yang sederhana, bila kekuatan berbasis Islam diakomodir secara nyata dalam sistem pemerintahan, mungkin saja tidak akan ada gerakan perlawanan dari Kartosuwiryo dan teman-teman. Ya.. dalam persepsi saya waktu itu, runtuhnya basis negara kita karena sistem kita yang sangat materialisme dan sekuler. Asas tunggal (Pancasila) telah “membungkam” lidah dan mata kita dalam memandang ideologi. Ekonomi kita hancur lebur oleh paham kapitalis dunia barat. Siklus riba tak tertahankan. Dan pada saatnya nanti, negara kita akan “terjual” dan kita akan “tergadaikan”. Solusi parti adalah pembentukan negara madani dengan syarat-syarat yang pernah saya ungkapkan.

Amien Rais, mungkin saat itu adalah pilihan yang cukup rasional dibanding dengan tokoh-tokoh reformasi lainnya. Bisa saja pilihan saya “disalahkan” oleh pihak lain, tapi setidaknya kapasitas dan intelektual beliau dalam pemahaman Islam dan politik serta keterwakilan kekuatan Islam bisa menyatu di bawah beliau. Intinya, dari pemahaman yang saya ikuti dari pemikiran dan langkah beliau, perubahan sistem dengan pembentukan masyarakat madani hampir sama dengan pemikiran saya. Dan apa yang tertuang di landasan pikiran Partai Amanat Nasional sangat sejalan 90% dengan pemikiran saya. Hanya satu yang tidak sejalan, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan syariat Islam.

Keputusanku untuk masuk dalam politik praktis tentulah memiliki konsekuensi. Besarnya gesekan politik tak bisa dihindari. Munculnya kaukus-kaukus dalam partai tidak bisa dielakkan. Ada dua kekuatan yang muncul di tubuh partai PAN di kota Bandung, yang saya rasa, kekuatan itupun muncul di daerah-daerah lain. Kekuatan Muhammadiyah dan non Muhammadiyah. Disinipun saya harus bisa menempatkan dimana saya harus merapat secara politik. Banyak orang menganggap saya bagian dari kaukus Muhammadiyah, karena kedekatan saya dengan orang-orang Muhammadiyah di tubuh partai. Padahal pendapat mereka keliru, bagi saya politik bukanlah abu-abu, tapi hitam atau putih. Bila kita mengedepankan Islam sebagai dasar pemikiran politik kita, maka tidak ada tawar-menawar untuk suatu kasus atau pilihan politik. Bagi saya, selama itu benar secara syariat, maka itulah pilihan saya. Seperti kita dihadapkan pada pilihan, politik untuk dakwah atau dakwah untuk politik. Namun yang pasti dakwah adalah mengajak pada kebenaran. Dan kebenaran yang hakiki bersumber dari Alloh swt melalui firman-firman-Nya kepada Rosul-Nya serta tidak ada unsur abu-abu didalamnya. Manusia wajib taat kepada firman dan aturan-aturan yang hakiki tersebut. Tapi tidak demikian dengan politik. Bentuk toleransi yang masih bisa saya pahami tentang politik adalah sebagai salah ijtihad kita dalam memperjuangkan kebenaran yang hakiki selama tidak keluar dari jalur syariat.

Takdir tak bisa dielakkan. Kekuatan sekuler nasionalis masih terlalu besar, seakan-akan “Islam” tidak laku dikalangan kaum muslimin Indonesia. Dan Partai Amanat Nasional “gagal” dalam pencapaian target suara nasional. Peluang Amien Rais pun “gagal” untuk menjadi orang nomer satu di Indonesia.

Friday, March 25, 2005

Dalam Catatan Kaki - Inilah Aku (2)

Entah bagaimana ceritanya, suatu saat saya melihat satu buku tebal berwarna hijau. Di cover buku itu tergambar seorang laki-laki tua, berpeci dan berjanggut putih tipis(kalau tidak salah). Rambutnya terlihat tipis dan sepintas hampir tidak terlihat warna hitamnya. Di situ tertulis Moh. Natsir, sebuah biografi, tulisan Ajip Rosidi. Bagi kebanyakan kawan-kawan, mungkin nama itu tidaklah berarti apa-apa. Awalnya pun demikian, tidak ada ketertarikan apapun terhadap sosok yang ada pada buku itu. Setelah membaca buku itu, halaman demi halaman, pelan tapi pasti, maka muncullah satu kesimpulan yang luar biasa, bila benar apa yang ditulis oleh Ajip Rosidi tentang sosok Moh. Natsir, maka saya menyimpulkan bahwa dia adalah sosok yang sangat luar biasa. Selain seorang dai dan seorang politikus, beliau juga seorang bapak pendidik yang hebat. Mungkin pujian ini terlalu berlebihan untuk beliau. Tapi setidaknya inilah kekaguman saya terhadapnya, walaupun saya hanya bisa merasakan sedikit saja dari beberapa tulisan beliau di majalah Muslimin edisi tahun 80’an yang masih tersimpan dengan rapi di lemari buku bapak saya di Jakarta. Semoga Alloh memberikan rahmat dengan menempatkan engkau di sisi yang paling mulia di sisi Alloh SWT. Amiin.

Pemikiran Moh. Natsir tentang negara adalah bahwa sumber otorisasi kekuasaan dan legitimasi adalah Alloh SWT dan manusia sebagai khalifah mempunyai tugas melaksanakan dan menegakkan perintah dari pemegang kedaulatan. Inilah yang sedikit banyak mempengaruhi sentimen sosial dan langkah politik yang ada dalam diri saya. Dari Moh Natsir inilah saya mulai mengenal pemikiran dai intelektual A. Hassan (semoga Alloh memberikan rahmat dengan menempatkan engkau di sisi yang paling mulia di sisi Alloh SWT. Amiin.) dari buku-bukunya yang mengupas tentang banyaknya praktek bid’ah di masyarakat Indonesia. Penemuan jati diri saya mulai berproses pada penemuan secara religi. Pada akhir tahun 1997 inilah ada dua inspirator yang hinggap di hati saya. Pertama, Moh Natsir dengan pemikiran politik Islamnya. Kedua A. Hassan, dengan tulisan-tulisan syiarnya tentang Islam.

Jatuhnya rezim Soeharto melalui gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya, telah menciptakan satu tatanan politik baru. Gerakan-gerakan himpunan mahasiwa dan masyarakat mulai bermunculan, demikian juga dengan partai politik.

Inilah momen bagi saya untuk mengaktualisasikan pemikiran saya, yang saat itu sangat dipengaruhi oleh pemikiran Moh Natsir dan Amien Rais. Bahkan saking semangatnya saya untuk mengaktualisasikan pemikiran saya, perkuliahan pun menjadi sedikit mandek. There is something wrong in this country, dan saya harus mencoba untuk membenahi ini melalui jalur politik praktis. Satu motto yang coba saya pertahankan hingga saat ini adalah pembentukan masyarakat madani harus didasari atas sistem pemerintahan yang Islami bukan sekuler. Dan untuk mewujudkan pemerintahan yang Islami, maka kepala pemerintahan (presiden) nya bukan hanya yang beragama Islam tapi juga mengerti dan memahami hakikat Islam. Negara Islam bukanlah sesuatu yang wajib, tapi pemerintahan yang berdasarkan pada sistem ke-Islaman adalah keharusan dan harga mati. Bagi saya, hanya orang yang munafik, yang mengaku Islam tapi menolak sistem Islam. Dan perlu dipahami bahwa gerakan sekuler tidak pernah sejalan dengan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Tapi sejalan dengan perkembangannya, apa yang saya cita-citakan itu sudah mulai terasa akan mengalami sebuah batu sandungan yang sangat luar biasa. Gagalnya Amien Rais masuk ke Partai Bulan Bintang (partai Islam) yang merupakan “anak” dari Partai Masyumi (didirikan oleh Moh. Natsir dan teman-teman melalui kongres Umat Islam tahun 1940an) dan Amien Rais mulai mendirikan partai dengan nama Partai Amanat Nasional, memberikan saya untuk memilih satu diantara dua pilihan itu. Tahun 1998, akhirnya saya memutuskan untuk berpolitik praktis dengan menjadi anggota Partai Amanat Nasional Kota Bandung sebagai sekretaris Dept. Pemuda. Namun sejalan dengan itu, walaupun motto yang saya pegang teguh hingga hari ini tentang prinsip kebangsaan dan negara kayaknya agak sulit bisa terealisasi, tapi setidaknya impian memiliki presiden yang memegang teguh prinsip ke-Islamannya bisa terwujud. Tahun 1998, adalah tahun berpolitik dalam hidup saya.

Thursday, March 24, 2005

Dalam Catatan Kaki - Inilah Aku (1)

Terlahir dari pasangan berdarah sunda Mohamad Isis bin mukhlis iskandar bin kiyai hasan mustapa bin kiyai murhasim (haji muhamad ishak) bin mas kiyai muidah bin mas kiyai muhammad barmawi dengan Euis Aryati binti endik sutisna. Adam Mulya demikian mereka memberi nama untuk ku. Nama yang baik sebagai tanda perwujudan doa dan penganugerahan kemuliaan kepada nabi Adam as. Dilahirkan di desa Soroako (Sulawesi) tanggal 15 Oktober 1976 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. (Yogi Ahmad Erlangga dan Ira Larasati).

Masa kecilku (esde) ku habiskan di SD Jatiwaringin II Pondok Gede. Kenangan terindah yang masih melekat adalah keaktifan di ke-Pramuka-an.. Bahkan sempat di kirim mewakili sekolah, untuk mengikuti kegiatan Persami (Perkemahan Sabtu Minggu) di salah satu SMP di sekitar daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Lulus tahun 1989, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 157 Jakarta Timur. Boleh jadi, kejadian yang tidak terlupakan adalah, sebagai manusia yang pada waktu itu mencoba “mendobrak” jiwa kanak-kanak menuju fase remaja, sebuah fase tahap pertama dalam proses pendewasaan. Kejadian “lucu” itu adalah munculnya perasaan “seneng”. Ya, perasaan "seneng" mulai muncul pertama kali pada seorang lawan jenis berambut panjang lurus semampai, yang menurut saya, dia begitu indah di pandang dan begitu anggun untuk di hayati. Sayang, justru pada fase itu, “Dewa Cupid” tidak berpihak. Tidak seperti teman-teman saya lainnya, rasa "seneng" ku ini bertepuk sebelah tangan. Doa saya buat dia, semoga Alloh memberikannya (dimanapun dia berada) kesejahteraan dan keselamatan dunia dan akhirat, diteguhkan hatinya dan dikuatkan imannya agar selalu bersujud dan memohon ampun pada Sang Pemilik Cinta Sejati, Alloh Tabarakta wa ta’ala.
Walaupun bertepuk sebelah tangan, setidaknya ada satu pelajaran darinya tentang arti sesungguhnya dalam memaknai cinta dan kasih sayang. Sampai dengan lulus SMP tahun 1992, statusku tetap sebagai seorang penyendiri.

Selanjutnya episode ku berlanjut pada keputusanku untuk hijrah dari Jakarta ke Bandung, setelah mengeyam pendidikan di SMA 48 Jakarta selama satu setengah tahun ke SMA 1 Bandung, boleh jadi keputusan yang tepat. Bandung ternyata kota yang menurut saya “sangat tepat” dalam membangun karakter kedewasaan manusia. Lingkungan yang dinamis membuat saya bisa melupakan sementara lantunan langgam metropolitan yang sebelumnya selalu ku banggakan sebagai anak kosmo walaupun tinggal di pinggiran ibu kota. Bagaimana tidak, hijrah saya tahun 1993, telah memberi saya banyak arti dalam perjalanan hidup saya.

Tahun 1995, saya mulai kuliah di Universitas Pasundan Bandung dengan mengambil jurusan Akuntansi. Sebagai mahasiswa baru, tentulah cara pandang dan pikiran masih diwarnai dengan nuansa seragam abu-abu alias “es-em-a”. Dalam “berdiskusi”pun masih seputar “materialistis” anak remaja. Dalam satu kesempatan, HMR (Himpunan Mahasiswa Revolusioner), salah satu organisasi hamasiswa kampus, mengadakan aksi demonstrasi pengecaman terhadap penindasan penggusuran oleh pemerintah daerah terhadap marsyarakat Cibeureum. Aksi turun kejalan pun terjadi. Demonstrasi yang jumlahnya tidak lebih 100 orang itu pun ternyata memberikan satu pelajaran yang sangat mendalam bagi saya. Muncul satu pertanyaan dalam diri dan pikiran, “what’s going on in this country?”. Dari sinilah ingatan saya mulai terusik atas kejadian tahun 1993, demonstrasi yang terdiri dari para penganut agama dan sosial, mengecam dan menuntut penutupan dan pembubaran SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang sangat kental dengan praktek perjudian di masyarakat Indonesia pada waktu itu.

Ada dua fakta sejarah yang dirasakan pada waktu itu. Pertama, gerakan aksi penindasan terhadap warga Cibeureum dan gerakan penolakan dan pembubaran SDSB. Secara prinsip, kedua gerakan itu memiliki tujuan aksi “sosial politik” yang berbeda, tapi memiliki satu alasan yang sama, bahwa mereka berusaha mengkoreksi sistem yang tercipta dan diciptakan hanya untuk kepentingan kaum materialistis dan penguasa. Inilah yang memicu andrenalin indera sosial saya terhadap lingkungan di sekitar. Ternyata, kita miskin karena sistem diciptakan oleh para penguasa negeri agar kita tetap miskin dan mereka yang mengklaim diri sebagai pengatur negara akan terus bertambah kaya. Dan anggapan saya waktu itu bahwa ada satu masalah besar dalam negeri ini, dan itu harus dikoreksi.

Ibarat api, pasti ada penyulutnya. Seperti halnya dengan indera sosial saya, kedua peristiwa itu telah menjadi penyulut indera hati, mata dan pikiran saya dalam melihat kondisi bangsa dan negara ini. Ketika itu banyak pendapat para pemikir (cendikia) yang ter-marjinalkan oleh sistem seperti Amien Rais (Ketua Umum Muhammadiyah, pada waktu itu) atau aktivis kampus lainnya menganggap bahwa perlu dilakukan sebuah gerakan “radikal” dalam membenahi bangsa ini. Maka tergulirlah kata “suksesi” untuk me-reform kembali tatanan kehidupan politik dan sistem pemerintahan. Gerakan ini semakin lama semakin meluas seiring dengan runtuhnya tatanan ekonomi Indonesia, dikenal krisis moneter, sekitar akhir tahun 1997 dan penolakan dalam skala menengah di tengah masyarakat terhadap hasil Pemilu 1997 dengan terpilihnya kembali Soeharto.

Gerakan mahasiswa dan aktivis kampus yang selama ini di depolitisasi oleh pemerintah rezim Soeharto, seakan-akan berubah menjadi satu kekuatan dalam satu pikiran dan satu langkah menuntut reformasi di segala bidang dan menuntut Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Mahasiswa yang selama ini seperti yang sedang tidur panjang, mungkin sedang meratapi “kekalahan” gerakan massa pada tahun 1977, menjadi klimaks dengan menciptakan sebuah tatanan struktural politik baru pada sistem kepolitikan kita. Adalah tahun 1998, sebagai puncak kekuatan “politik mahasiswa” nasional dengan ditandai oleh runtuhnya kekuasaan Soeharto.