Impian untuk memiliki presiden yang merepresentasikan kekuatan Islam Indonesia adalah satu cita-cita yang sangat saya dambakan. Islam dalam perkembangannya di Indonesia selalu termajinalkan oleh kekuatan sekuler nasionalis. Sejarah mencatat sejak Indonesia merdeka hingga kini, gerakan berbasis Islam tidak pernah diakomodir secara nyata. Mungkin ini yang menjadi alasan mengapa muncul gerakan perlawanan DI/TII oleh Kartosuwiryo, Kahar Muzakar dan Daud Beureuh di daerah nusantara pada dekade 10 tahun paska Indonesia merdeka. Dalam analogi saya yang sederhana, bila kekuatan berbasis Islam diakomodir secara nyata dalam sistem pemerintahan, mungkin saja tidak akan ada gerakan perlawanan dari Kartosuwiryo dan teman-teman. Ya.. dalam persepsi saya waktu itu, runtuhnya basis negara kita karena sistem kita yang sangat materialisme dan sekuler. Asas tunggal (Pancasila) telah “membungkam” lidah dan mata kita dalam memandang ideologi. Ekonomi kita hancur lebur oleh paham kapitalis dunia barat. Siklus riba tak tertahankan. Dan pada saatnya nanti, negara kita akan “terjual” dan kita akan “tergadaikan”. Solusi parti adalah pembentukan negara madani dengan syarat-syarat yang pernah saya ungkapkan.

Amien Rais, mungkin saat itu adalah pilihan yang cukup rasional dibanding dengan tokoh-tokoh reformasi lainnya. Bisa saja pilihan saya “disalahkan” oleh pihak lain, tapi setidaknya kapasitas dan intelektual beliau dalam pemahaman Islam dan politik serta keterwakilan kekuatan Islam bisa menyatu di bawah beliau. Intinya, dari pemahaman yang saya ikuti dari pemikiran dan langkah beliau, perubahan sistem dengan pembentukan masyarakat madani hampir sama dengan pemikiran saya. Dan apa yang tertuang di landasan pikiran Partai Amanat Nasional sangat sejalan 90% dengan pemikiran saya. Hanya satu yang tidak sejalan, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan syariat Islam.
Keputusanku untuk masuk dalam politik praktis tentulah memiliki konsekuensi. Besarnya gesekan politik tak bisa dihindari. Munculnya kaukus-kaukus dalam partai tidak bisa dielakkan. Ada dua kekuatan yang muncul di tubuh partai PAN di kota Bandung, yang saya rasa, kekuatan itupun muncul di daerah-daerah lain. Kekuatan Muhammadiyah dan non Muhammadiyah. Disinipun saya harus bisa menempatkan dimana saya harus merapat secara politik. Banyak orang menganggap saya bagian dari kaukus Muhammadiyah, karena kedekatan saya dengan orang-orang Muhammadiyah di tubuh partai. Padahal pendapat mereka keliru, bagi saya politik bukanlah abu-abu, tapi hitam atau putih. Bila kita mengedepankan Islam sebagai dasar pemikiran politik kita, maka tidak ada tawar-menawar untuk suatu kasus atau pilihan politik. Bagi saya, selama itu benar secara syariat, maka itulah pilihan saya. Seperti kita dihadapkan pada pilihan, politik untuk dakwah atau dakwah untuk politik. Namun yang pasti dakwah adalah mengajak pada kebenaran. Dan kebenaran yang hakiki bersumber dari Alloh swt melalui firman-firman-Nya kepada Rosul-Nya serta tidak ada unsur abu-abu didalamnya. Manusia wajib taat kepada firman dan aturan-aturan yang hakiki tersebut. Tapi tidak demikian dengan politik. Bentuk toleransi yang masih bisa saya pahami tentang politik adalah sebagai salah ijtihad kita dalam memperjuangkan kebenaran yang hakiki selama tidak keluar dari jalur syariat.
Takdir tak bisa dielakkan. Kekuatan sekuler nasionalis masih terlalu besar, seakan-akan “Islam” tidak laku dikalangan kaum muslimin Indonesia. Dan Partai Amanat Nasional “gagal” dalam pencapaian target suara nasional. Peluang Amien Rais pun “gagal” untuk menjadi orang nomer satu di Indonesia.
No comments:
Post a Comment