Thursday, March 24, 2005

Dalam Catatan Kaki - Inilah Aku (1)

Terlahir dari pasangan berdarah sunda Mohamad Isis bin mukhlis iskandar bin kiyai hasan mustapa bin kiyai murhasim (haji muhamad ishak) bin mas kiyai muidah bin mas kiyai muhammad barmawi dengan Euis Aryati binti endik sutisna. Adam Mulya demikian mereka memberi nama untuk ku. Nama yang baik sebagai tanda perwujudan doa dan penganugerahan kemuliaan kepada nabi Adam as. Dilahirkan di desa Soroako (Sulawesi) tanggal 15 Oktober 1976 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. (Yogi Ahmad Erlangga dan Ira Larasati).

Masa kecilku (esde) ku habiskan di SD Jatiwaringin II Pondok Gede. Kenangan terindah yang masih melekat adalah keaktifan di ke-Pramuka-an.. Bahkan sempat di kirim mewakili sekolah, untuk mengikuti kegiatan Persami (Perkemahan Sabtu Minggu) di salah satu SMP di sekitar daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Lulus tahun 1989, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 157 Jakarta Timur. Boleh jadi, kejadian yang tidak terlupakan adalah, sebagai manusia yang pada waktu itu mencoba “mendobrak” jiwa kanak-kanak menuju fase remaja, sebuah fase tahap pertama dalam proses pendewasaan. Kejadian “lucu” itu adalah munculnya perasaan “seneng”. Ya, perasaan "seneng" mulai muncul pertama kali pada seorang lawan jenis berambut panjang lurus semampai, yang menurut saya, dia begitu indah di pandang dan begitu anggun untuk di hayati. Sayang, justru pada fase itu, “Dewa Cupid” tidak berpihak. Tidak seperti teman-teman saya lainnya, rasa "seneng" ku ini bertepuk sebelah tangan. Doa saya buat dia, semoga Alloh memberikannya (dimanapun dia berada) kesejahteraan dan keselamatan dunia dan akhirat, diteguhkan hatinya dan dikuatkan imannya agar selalu bersujud dan memohon ampun pada Sang Pemilik Cinta Sejati, Alloh Tabarakta wa ta’ala.
Walaupun bertepuk sebelah tangan, setidaknya ada satu pelajaran darinya tentang arti sesungguhnya dalam memaknai cinta dan kasih sayang. Sampai dengan lulus SMP tahun 1992, statusku tetap sebagai seorang penyendiri.

Selanjutnya episode ku berlanjut pada keputusanku untuk hijrah dari Jakarta ke Bandung, setelah mengeyam pendidikan di SMA 48 Jakarta selama satu setengah tahun ke SMA 1 Bandung, boleh jadi keputusan yang tepat. Bandung ternyata kota yang menurut saya “sangat tepat” dalam membangun karakter kedewasaan manusia. Lingkungan yang dinamis membuat saya bisa melupakan sementara lantunan langgam metropolitan yang sebelumnya selalu ku banggakan sebagai anak kosmo walaupun tinggal di pinggiran ibu kota. Bagaimana tidak, hijrah saya tahun 1993, telah memberi saya banyak arti dalam perjalanan hidup saya.

Tahun 1995, saya mulai kuliah di Universitas Pasundan Bandung dengan mengambil jurusan Akuntansi. Sebagai mahasiswa baru, tentulah cara pandang dan pikiran masih diwarnai dengan nuansa seragam abu-abu alias “es-em-a”. Dalam “berdiskusi”pun masih seputar “materialistis” anak remaja. Dalam satu kesempatan, HMR (Himpunan Mahasiswa Revolusioner), salah satu organisasi hamasiswa kampus, mengadakan aksi demonstrasi pengecaman terhadap penindasan penggusuran oleh pemerintah daerah terhadap marsyarakat Cibeureum. Aksi turun kejalan pun terjadi. Demonstrasi yang jumlahnya tidak lebih 100 orang itu pun ternyata memberikan satu pelajaran yang sangat mendalam bagi saya. Muncul satu pertanyaan dalam diri dan pikiran, “what’s going on in this country?”. Dari sinilah ingatan saya mulai terusik atas kejadian tahun 1993, demonstrasi yang terdiri dari para penganut agama dan sosial, mengecam dan menuntut penutupan dan pembubaran SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang sangat kental dengan praktek perjudian di masyarakat Indonesia pada waktu itu.

Ada dua fakta sejarah yang dirasakan pada waktu itu. Pertama, gerakan aksi penindasan terhadap warga Cibeureum dan gerakan penolakan dan pembubaran SDSB. Secara prinsip, kedua gerakan itu memiliki tujuan aksi “sosial politik” yang berbeda, tapi memiliki satu alasan yang sama, bahwa mereka berusaha mengkoreksi sistem yang tercipta dan diciptakan hanya untuk kepentingan kaum materialistis dan penguasa. Inilah yang memicu andrenalin indera sosial saya terhadap lingkungan di sekitar. Ternyata, kita miskin karena sistem diciptakan oleh para penguasa negeri agar kita tetap miskin dan mereka yang mengklaim diri sebagai pengatur negara akan terus bertambah kaya. Dan anggapan saya waktu itu bahwa ada satu masalah besar dalam negeri ini, dan itu harus dikoreksi.

Ibarat api, pasti ada penyulutnya. Seperti halnya dengan indera sosial saya, kedua peristiwa itu telah menjadi penyulut indera hati, mata dan pikiran saya dalam melihat kondisi bangsa dan negara ini. Ketika itu banyak pendapat para pemikir (cendikia) yang ter-marjinalkan oleh sistem seperti Amien Rais (Ketua Umum Muhammadiyah, pada waktu itu) atau aktivis kampus lainnya menganggap bahwa perlu dilakukan sebuah gerakan “radikal” dalam membenahi bangsa ini. Maka tergulirlah kata “suksesi” untuk me-reform kembali tatanan kehidupan politik dan sistem pemerintahan. Gerakan ini semakin lama semakin meluas seiring dengan runtuhnya tatanan ekonomi Indonesia, dikenal krisis moneter, sekitar akhir tahun 1997 dan penolakan dalam skala menengah di tengah masyarakat terhadap hasil Pemilu 1997 dengan terpilihnya kembali Soeharto.

Gerakan mahasiswa dan aktivis kampus yang selama ini di depolitisasi oleh pemerintah rezim Soeharto, seakan-akan berubah menjadi satu kekuatan dalam satu pikiran dan satu langkah menuntut reformasi di segala bidang dan menuntut Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Mahasiswa yang selama ini seperti yang sedang tidur panjang, mungkin sedang meratapi “kekalahan” gerakan massa pada tahun 1977, menjadi klimaks dengan menciptakan sebuah tatanan struktural politik baru pada sistem kepolitikan kita. Adalah tahun 1998, sebagai puncak kekuatan “politik mahasiswa” nasional dengan ditandai oleh runtuhnya kekuasaan Soeharto.

No comments: