Friday, March 25, 2005

Dalam Catatan Kaki - Inilah Aku (2)

Entah bagaimana ceritanya, suatu saat saya melihat satu buku tebal berwarna hijau. Di cover buku itu tergambar seorang laki-laki tua, berpeci dan berjanggut putih tipis(kalau tidak salah). Rambutnya terlihat tipis dan sepintas hampir tidak terlihat warna hitamnya. Di situ tertulis Moh. Natsir, sebuah biografi, tulisan Ajip Rosidi. Bagi kebanyakan kawan-kawan, mungkin nama itu tidaklah berarti apa-apa. Awalnya pun demikian, tidak ada ketertarikan apapun terhadap sosok yang ada pada buku itu. Setelah membaca buku itu, halaman demi halaman, pelan tapi pasti, maka muncullah satu kesimpulan yang luar biasa, bila benar apa yang ditulis oleh Ajip Rosidi tentang sosok Moh. Natsir, maka saya menyimpulkan bahwa dia adalah sosok yang sangat luar biasa. Selain seorang dai dan seorang politikus, beliau juga seorang bapak pendidik yang hebat. Mungkin pujian ini terlalu berlebihan untuk beliau. Tapi setidaknya inilah kekaguman saya terhadapnya, walaupun saya hanya bisa merasakan sedikit saja dari beberapa tulisan beliau di majalah Muslimin edisi tahun 80’an yang masih tersimpan dengan rapi di lemari buku bapak saya di Jakarta. Semoga Alloh memberikan rahmat dengan menempatkan engkau di sisi yang paling mulia di sisi Alloh SWT. Amiin.

Pemikiran Moh. Natsir tentang negara adalah bahwa sumber otorisasi kekuasaan dan legitimasi adalah Alloh SWT dan manusia sebagai khalifah mempunyai tugas melaksanakan dan menegakkan perintah dari pemegang kedaulatan. Inilah yang sedikit banyak mempengaruhi sentimen sosial dan langkah politik yang ada dalam diri saya. Dari Moh Natsir inilah saya mulai mengenal pemikiran dai intelektual A. Hassan (semoga Alloh memberikan rahmat dengan menempatkan engkau di sisi yang paling mulia di sisi Alloh SWT. Amiin.) dari buku-bukunya yang mengupas tentang banyaknya praktek bid’ah di masyarakat Indonesia. Penemuan jati diri saya mulai berproses pada penemuan secara religi. Pada akhir tahun 1997 inilah ada dua inspirator yang hinggap di hati saya. Pertama, Moh Natsir dengan pemikiran politik Islamnya. Kedua A. Hassan, dengan tulisan-tulisan syiarnya tentang Islam.

Jatuhnya rezim Soeharto melalui gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya, telah menciptakan satu tatanan politik baru. Gerakan-gerakan himpunan mahasiwa dan masyarakat mulai bermunculan, demikian juga dengan partai politik.

Inilah momen bagi saya untuk mengaktualisasikan pemikiran saya, yang saat itu sangat dipengaruhi oleh pemikiran Moh Natsir dan Amien Rais. Bahkan saking semangatnya saya untuk mengaktualisasikan pemikiran saya, perkuliahan pun menjadi sedikit mandek. There is something wrong in this country, dan saya harus mencoba untuk membenahi ini melalui jalur politik praktis. Satu motto yang coba saya pertahankan hingga saat ini adalah pembentukan masyarakat madani harus didasari atas sistem pemerintahan yang Islami bukan sekuler. Dan untuk mewujudkan pemerintahan yang Islami, maka kepala pemerintahan (presiden) nya bukan hanya yang beragama Islam tapi juga mengerti dan memahami hakikat Islam. Negara Islam bukanlah sesuatu yang wajib, tapi pemerintahan yang berdasarkan pada sistem ke-Islaman adalah keharusan dan harga mati. Bagi saya, hanya orang yang munafik, yang mengaku Islam tapi menolak sistem Islam. Dan perlu dipahami bahwa gerakan sekuler tidak pernah sejalan dengan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Tapi sejalan dengan perkembangannya, apa yang saya cita-citakan itu sudah mulai terasa akan mengalami sebuah batu sandungan yang sangat luar biasa. Gagalnya Amien Rais masuk ke Partai Bulan Bintang (partai Islam) yang merupakan “anak” dari Partai Masyumi (didirikan oleh Moh. Natsir dan teman-teman melalui kongres Umat Islam tahun 1940an) dan Amien Rais mulai mendirikan partai dengan nama Partai Amanat Nasional, memberikan saya untuk memilih satu diantara dua pilihan itu. Tahun 1998, akhirnya saya memutuskan untuk berpolitik praktis dengan menjadi anggota Partai Amanat Nasional Kota Bandung sebagai sekretaris Dept. Pemuda. Namun sejalan dengan itu, walaupun motto yang saya pegang teguh hingga hari ini tentang prinsip kebangsaan dan negara kayaknya agak sulit bisa terealisasi, tapi setidaknya impian memiliki presiden yang memegang teguh prinsip ke-Islamannya bisa terwujud. Tahun 1998, adalah tahun berpolitik dalam hidup saya.

No comments: