Sedikit cerita yang mungkin pernah pula dialami oleh sebagian orang yang mengagungkan sebuah makna "keindahan". Sebuah makna dimana tersiarnya sebuah kabar yang diterima oleh hati melalui pandangan mata dan akal akan mulai mempertimbangkan, mempertanyakan lalu mungkin menerimanya atau membantahnya. Namun kadang kala hati tetap percaya pada kabar yang diterima dan bersikukuh untuk memberitakannya. Pada tahap ini, hati telah siap menanggung akibat atas perbuatan itu.
Ibarat sebuah puisi, makna-maknanya keluar dari hati. Keindahaannya akan sirna jika dalam nafasnya disisipi akal. Karena akal mempunyai jangkauan yang terbatas dibandingkan dengan hati. Konsep keindahan yang ditawarkan hati sangatlah luas dan akal kita yang sempit ini terkadang tidak sanggup mengimbangi keluasan hati. Pada titik tertertu, manusia akan kehilangan akalnya akibat keluasan hati dan perlakuan hati pada akal. Sehingga tak heran bila kejadian-kejadian klasik dan kuno ataupun "kampungan" akan menyebabkan manusia lain akan menertawakan atau menyindir kita akibat ulah hati kita yang tak bisa diimbangi oleh akal kita.
"Cinta", ya kata inilah yang telah dikabari oleh mata pada hati. Dan "keindahan" adalah unsur kimia yang membentuk wujud raga dan bernyawa, yang kemudian aku sebut dengan nama "perempuan". Cinta dan perempuan adalah hubungan romantika yang "halal" dalam usaha kita untuk mencari pasangan hidup dan menemani kita dalam memenuhi sisa tujuan hidup kita yang belum kita raih. Pada masanya nanti kita akan menyebut sebagai sebuah episode manusia dalam memecahkan kemisterian akan "keindahan" itu.
Tidak ada perdebatan yang terselesaikan dengan "baik" selain perdebatan tentang cinta dan perempuan. Peristiwa perang Troya, telah mengilhami Homerus untuk menciptakan syair-syair cinta dan peperangan. Perdebatan cinta dan perempuan pulalah yang mengilhami dewa-dewa Yunani dengan si "Cupid" nya sebagai biang keladi kehancuran dan keharmonisan umat manusia melalui panah cintanya. Legenda Sangkuriang yang memaksakan diri untuk mencintai Dayang Sumbi, yang tak lain adalah ibunya. Dan semuanya bermuara pada masalah cinta dan perempuan.
Kabar yang diterima oleh hati telah membuat penyempitan pola kerja akal. Sehingga perdebatan tentang cinta dan perempuan seringkali tidak berujung pada kebaikan dan keikhlasan. Dan pemenang pada pertarungan hati dan akal itu adalah perempuan.
Perempuan itu laksana dunia? Demikian kalau boleh aku buat perumpamaan.
Dentingan gitar Orpheus yang telah berhasil menyalakan semangat keberanian dan irama tanpa kata pun belum sanggup untuk meluluhlantahkan hati dan perasaan perempuan. Berbagai teori telah saling membantahkan. Kapitalis, komunis, sosialis, neo liberal atau liberal konservatif ataupun paham lainnya saling membantahkan. Dan pada masanya nanti paham-paham itu akan musnah seiring dengan jaman yang akan mengalahkannya. Tapi tidak dengan "cinta" dan "perempuan". Tak ada satupun yang sanggup memecahkan kemisterian itu. And the ending stories, perempuan adalah pemenangnya.
Perempuan itu laksana dunia?
Tak ada satupun manusia yang sanggup mengenggam dan menguasai dunia dalam arti imperial. Manusia tidak mengetahui bagaimana menaklukkan dunia dalam arti tersebut di atas. Seperti halnya cinta dan perempuan, tak ada satu pun manusia yang mengetahui bagaimana cara menaklukkan hati perempuan dengan cinta. Dan tidak ada satupun paham atau aliran yang sanggup menterjemahkan bahasa hati perempuan. Tidak ada seorangpun yang sanggup memahami sabda-sabda cinta, membuka kunci rahasia cinta, menguraikan rantai-rantainya, dan tidak pula bisa membaca tanda-tanda dan kemisteriannya.
Perempuan itu laksana dunia?
"Liannahaa absathu min dzaalika kulluh, lau ta'lamuun!"
Karena sesungguhnya, perempuan itu sangat luas - dan lebih misterius - dari semua itu, jika kalian tahu !
(Terilhami oleh DR. Taufiq El Hakim - Dalam Perjamuan Cinta)
by my self : private collection
Bandung 2004
Saturday, December 3, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment